Hati dan logika mungkin memang gak akan pernah
bisa menjadi satu.
Yang diinginkannya selalu bertolak belakang.
Bahkan amat sangat jauh membelakangi.
Hati yang penuh keinginan serta logika yang
penuh dengan kenyataan.
Dan yang terjadi adalah keinginan yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
Ketika hati ini telah memilih seseorang.
Mungkin pada dasarnya hati ini yakin, hati ini
berbicara bahwa ia lah orang yang tepat.
“ikuti
kata hatimu”
Kata-kata ini banyak terlontar dari mulut
seseorang dengan mudahnya.
Namun, apa yang harus kita ikuti kalo diri
sendiri pun tak mengerti apa yang diinginkan oleh hati.
Hati ini terasa begitu dalam.
Hati ini terasa begitu lembut.
Hingga karna kelembutannya hati ini mudah
dirobek.
Mudah untuk dihancurkan.
Ketika cinta itu datang, hati ini terdiam.
Namun, ketika hati ini yakin apa mungkin
logika ini dapat meyakinkan?
Ya, ketika ku berfikir lebih dalam.
Tak seharusnya hati ini ku berikan.
Otak ku terus berfikir dan selalu memberikan
ku sebuah pertanyaan
”mengapa?”
Dan lagi-lagi hati ini ingin menjawabnya
dengan lontaran keras
Ia berkata:
Cinta
tak mengenal kata mengapa
Cinta
yang tulus datang dari hati
Tanpa
alasan.
Dan kini logika ku bermain lebih dalam.
Tapi kalau cinta itu tak beralaskan bagaimana
bisa cinta itu datang.
Atas rasa sebuah kenyamanan?
Apakah nyaman ini bukan sebuah alasan?
Semakin dalam berfikir semakin ku menyadari
bahwa tidak ada cinta tanpa alasan.
Semua itu butuh alasan, butuh pertanggung
jawaban.
Pemikiran ini semakin dan semakin mengeras.
Ketika aku merasa tak pantas.
Karna memang dia terlalu sempurna untuk orang
seperti-ku.
Namun, hati ini tak menerimanya.
Dia yang sempurna adalah dia yang menuntunmu
untuk lebih sempurna.
Logika ini kembali berpacu.
Ketika aku menginginkan dia yang sempurna
seharusnya aku harus lebih dari sempurna.
Dan tak seharusnya aku menginginkannya.
“SADAR DIRI”
Otakku terus mengingatkan akan hal itu.
Mungkin ketika hati telah memilih apapun akan
terasa indah.
Apapun akan terasa HARUS dilakukan untuk
mendapatkannya.
Tapi tidak dengan logika-ku.
Ketika ia telah memilih ia terus berfikir apa
YANG SEHARUSNYA dilakukan.
Bukan apapun harus dilakukan.
Hati itu buta. Tapi otak ku tidak.
Ia realistis, ia nyata.
Lagi-lagi seperti ini.
Ketika hati dan logika tak lagi sejalan.
Tidak ada satu pun yang dapat menyatukan.
Hati ini amat sangat menginginkannya namun
logika ku tak sampai.